Larang Dakwah Lewat Dunia Maya, Pemerintahan Jokowi Otoriter

Share:
MEDAN| Penutupan secara sepihak situs-situs yang dicurigai menyebarkan paham radikalisme dinilai sebagai tindakan terburu-buru dan berpotensi menumbuhkan sikap saling curiga di tengah masyarakat.

Pasalnya, penutupan situs-situs itu tanpa didahului upaya klarifikasi. Setidaknya, sebelum ditutup para pemilik situs itu mesti dipanggil dan dimintai keterangan. Bila ditemukan sesuatu yang menyimpang dan membahayakan, barulah kemudian dilakukan tindakan pemblokiran.

Hal tersebut disampaikan Saleh Partaonan Daulay, Ketua Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan Agama dan Sosial.

"Kalau langsung ditutup, kesannya pemerintah sangat otoriter. Tidak ada ruang diskusi dan klarifikasi. Yang sedikit berbeda, langsung dibungkam," ujar Saleh Daulay.

Menurut anggota F-PAN itu, pemerintah mestinya bersifat arif, bijaksana, dan proporsional dalam memperlakukan semua anak bangsa. Tidak boleh ada yang merasa ditinggalkan, apalagi dikucilkan.

"Menurut saya, tidak semua situs yang diblokir itu menyebarkan paham radikalisme. Ada di antaranya yang betul-betul dipergunakan sebagai media dakwah. Kalau dakwah lewat dunia maya tidak diperbolehkan, lalu apa bedanya konten dakwah dan konten judi dan pornografi yang juga diblokir?" kata Saleh yang terpilih dari dapil sumut II mempertanyakan.

Selain itu, pemerintah dinilai belum menetapkan ukuran dan standar tertentu yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam mengidentifikasi situs-situs penyebar paham radikalisme.

Dikhawatirkan, tanpa standar dan pengertian yang jelas, akan banyak situs yang akan diblokir. Tindakan seperti itu bisa saja mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dilindungi oleh UU.

Di sisi lain, pemblokiran situs-situs tersebut menimbulkan kesan adanya sikap 'prejudice' dengan satu agama tertentu. Kalau hal itu betul, tentu sangat tidak baik di tengah upaya semua pihak meningkatkan toleransi dan harmonisasi di tengah masyarakat. [ded]

Tidak ada komentar