MEDAN| PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I (Persero), tidak berhak atau tidak dibolehkan beroperasi di Pelabuhan Belawan menyusul putusan Pengadilan Negeri Medan yang memenangkan M Hafizham sebagai pemilik sah, tanah seluas 10 hektar yang dikenal dengan lokasi Pantai Anjing.
Atas keputusan PN Medan itu artinya, tidak mensahkan sertifikat kepemilikan semua lahan Pelindo I yang ada di Pelabuhan Belawan seluas 278,15 Ha.
Pelindo I, melalui humasnya M Eriansyah dalam siaran persnya yang diterima edisimedan, Rabu (20/5/2015), menyampaikan keberatan atas putusan PN Medan tersebut.
Menurut Eriansyah, putusan PN Medan itu tidak berimbang. Pasalnya, penggugat dalam hal ini Hafizham, melayangkan gugatannya hanya berdasarkan surat keterangan kehilangan atas surat Grant Sultan dan tidak pernah menunjukkan surat Grant Sultan yang sli selama di persidangan. Apalagi identitas penggugat selama dipersidangan juga tidak jelas. Tapi gugatannya malah dimenangkan.
"Selama pemeriksaan perkara perdata tersebut dari tingkat PN Medan dan tingkat Kasasi di MA, majelis hakim dalam memeriksa dan memutus perkara tidak secara objektif sebab M Hafizham tidak memiliki satupun dokumen surat atau bukti kepemilikan yang kuat atas tanah tersebut, sedangkan Pelindo I mempunyai bukti yang kuat dan sertifikat asli," kata Eriansyah didampingi Kuasa Hukum Pelindo I dari kantor Pengacara Junaidi Albab Setiawan serta Ketua DPC Serikat Pekerja Pelabuhan I kantor Pusat, Kamal Akhyar.
Menurut Eriansyah, ketidakberimbangan juga tampak saat PN Medan meletakkan sita jaminan atas tanah 10 ha tersebut tanpa ada pemberitahuan kepada Pelindo I sebagai termohon eksekusi dan pihak-pihak yang berbatasan dengan tanah tersebut tidak pernah diberitahu.
Dia bilang, Pelindo I menguasai tanah tersebut berdasarkan alas hak yang sah dan dilindungi Undang-undang yaitu sertifikat Hak Pengelolaan No 1/ Belawan I tanggal 3 Maret 1993 total seluas 278,15 Ha yang termasuk di dalamnya tanah 10 Ha yang dikenal dengan tanah lokasi Pantai Anjing.
"Keganjilan yang terjadi selanjutnya adalah bahwa, tanah 10 Ha yang diklaim sebagai lahan perkebunan tersebut dahulunya merupakan area pasang surut yang menjadi tanah timbul akibat buangan tanah dari reklamasi pembangunan Terminal Petikemas Belawan (sekarang BICT). Hal ini dapat dibuktikan dengan peta Ooskust Sumatera Mond Der Belawan-En Deli Rivier tahun 1953-1954, dimana dalam peta tersebut menunjukkan bahwa lokasi tanah tersebut masih merupakan area pasang surut atau didominasi oleh lautan," sambung Eriansyah.
Saat ini, lokasi tanah tersebut digunakan sebagai akses jalan keluar masuk ke Dermaga untuk pengangkut dan membongkar barang kebutuhan pokok Sumatera Utara, dan sebagian juga digunakan sebagai jalur pipa Pertamina untuk konsumsi BBM wilayah Sumatera Bagian Utara.
Dengan keputusan tersebut, jika memang dibatalkannya HPL Pelabuhan Belawan maka begitu banyak kerugian yang akan dialami, tidak hanya Pelindo I namun juga masyarakat Medan khususnya dan Sumatera Utara pada umumnya.
Karena begitu pentingnya keberadaan pelabuhan bagi masyarakat, bila terjadi sesuatu yang tidak baik atas kepemilikan lahan tersebut tentunya akan mempengaruhi kestabilan ekonomi di masyarakat yang berdampak kepada ketertiban yang terganggu, karena Pelabuhan Belawan yang merupakan pelabuhan terbesar ketiga di Indonesia merupakan pintu gerbang perekonomian Sumut dan Sumatera.
"Distribusi barang kebutuhan pokok (sembako) seperti beras, gula, minyak goreng dll, dan kebutuhan lainnya seperti penyaluran BBM bagi kebutuhan masyarakat pasti akan terganggu. Selain itu juga hal ini akan menggangu perencanaan pembangunan perekonomian khususnya Program Maritim Pemerintah dalam mendukung Tol Laut," jelas Eriansyah. [khi]
Tidak ada komentar